Sabtu, 11 April 2020



Mie Ayam Acil


Dengan gerobak berwarna biru telor asin, kentongan khas, bunyi kompor pompa yang juga khas bunyinya, membuat mie ayam Acil mengendap dalam memori hingga aku setua ini. Waktu aku kelas 4 SD, aku mulai diperkenalkan kakakku untuk ‘sedikit’ bandel. Aku terlahir dari keluarga polisi yang tertib aturan. Semua kegiatan per hari sudah ‘on schedule’, tanpa reserve. Mulai dari bangun tidur, makan siang, main dengan teman hingga tidur malam. Semua kami jalani seperti di barak tentara.

“Tok … tok … tok.”, begitulah suara yang kudengar hamper setiap sore lewat depan rumahku. “Dek, mau beli gak?”, Tanya kakakku. Kusahut dengan ragu-ragu. Tahu-tahu semangkok mie ayam telah terhidang di hadapaunku. Mie yang berwarna kuning pucat, sawi yang timbul tenggelam di antara mie. Sangat kontras warnanya. Suwiran daging ayam kecap menghiasi bagian atas yang sebgaian tertutup saus sambal. Di pojok mangkok ada sejoli bakso yang bercengkarama dengan sambal ijo berbau khas. Ada lagi yang khas dari mie ayam Acil, gambar ayam jago pada bagian luar mangkok dan sumpit plastic berwarna merah menyala. Sungguh, sangat menggugah selera.

Kenapa dikatakan mie ayam Acil? Tidak lain karena perawakannya yang kurus dan kecil. Acil = Anak kecil. Ialah tukang mie ayam pertama yang berjualan dari komplek Bona Indah Lebak Bulus hingga komplek polisi Pasar Jumat. Ia berjualan dari jaman jalan Karang Tengah masih berupa jalan setapak hingga menjadi jalan arteri. Ia juga yang mengajarkanku menikmati mie ayam dengan sumpit. Sungguh suatu pembelajaran yang berharga.

Semua begitu mengalir. Sampai pada masa masyarakat tergila-gila dengan acara Trans TV ‘INVESTIGASI’. Tapi aku lebih sreg menyebutnya acara agitasi dan provokasi. Badai pun menerpa tukang mie ayam dan bakso. Seminggu Acil tak muncul, dua minggu, tiga minggu hingga dua bulan. Kangen lidah ini menari-nari memainkan mie dan sawi. Akhirnya pada suatu hari terdengar bunyi yang khas. Tapi kok nadanya beda?. Kocoba melongok ke luar pintu, Yah, bukan bang Acil. Gak apa-apa deh, beli aja. Ternyata jauh panggang dari api. Selalu ada saja yang kurang setiap aku mencoba mie ayam. Bayangkan dari tahun 2000 hingga tahun 2010 aku kehilangan mie ayam yang khas.

Tahun 2005, setelah berkeluarga aku pindah ke Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Kadang aku masih mengingat bagaimana rasa mie ayam Acil. Lama-lama rasa itu sirna dari kenangan papilla lidah dan ingatanku. Hari Senin tahun 2010, aku izin pulang cepat karena badan agak meriang. Ba’da zhuhur, terdengar suara yang khas itu lagi. Kucoba menegaskan, nada, tempo dan tonenya sama persis. Segera aku keluar, kok bukan bang Acil?. Biarlah, lagi pula aku sudah lapar. Sambil membuat mie, abangnya kutanya, “Bang, sebelum ke sini, udah jualan di mana aja bang?”. Abang mie ayam itu menjawab ia mulai berjualan di Lebak Bulus. “lebak Bulusnya mana Bang?”. Dijawabnya di Bona Indah. Aku tanya apakah kenal Bang Acil. Tidak disangka ia menjawab bang Acil adalah adiknya. Ialah yang menyuruh adiknya berjualan di komplekku.


“Terus kemana bang Acil kemana Bang?”. Jawabnya adiknya pulang kampong karena istrinya meninggal. Ia berjualan mie ayam di kampungnya. “Nih pak udah selesai”, katanya. Segera setelah masuk rumah kucicipi mia ayam itu. Seperti adegan di film animasi ‘Ratatouille’ semua kenangan muncul kembali. Ya Allah, terima kasih. Telah kutemukan rasa khas yang hilang. Hingga kini setiap Sabtu dan Minggu tak pernah kulewati mie ayam kesenanganku.


JKT, 12/04/20

4 komentar:

  1. Senengnya bisa menikmati mie ayam acil lagi 😁

    BalasHapus
  2. Ikutan terbawa dengan kenangan mie ayamnya acilnya.



    https://yuyundwimulyani.blogspot.com/2020/04/gara-gara-semangkuk-mie-ayam.html

    BalasHapus