Mie Ayam
Acil
Dengan
gerobak berwarna biru telor asin, kentongan khas, bunyi kompor pompa yang juga
khas bunyinya, membuat mie ayam Acil mengendap dalam memori hingga aku setua
ini. Waktu aku kelas 4 SD, aku mulai diperkenalkan kakakku untuk ‘sedikit’
bandel. Aku terlahir dari keluarga polisi yang tertib aturan. Semua kegiatan
per hari sudah ‘on schedule’, tanpa reserve. Mulai dari bangun tidur, makan
siang, main dengan teman hingga tidur malam. Semua kami jalani seperti di barak
tentara.
“Tok
… tok … tok.”, begitulah suara yang kudengar hamper setiap sore lewat depan
rumahku. “Dek, mau beli gak?”, Tanya kakakku. Kusahut dengan ragu-ragu.
Tahu-tahu semangkok mie ayam telah terhidang di hadapaunku. Mie yang berwarna
kuning pucat, sawi yang timbul tenggelam di antara mie. Sangat kontras
warnanya. Suwiran daging ayam kecap menghiasi bagian atas yang sebgaian
tertutup saus sambal. Di pojok mangkok ada sejoli bakso yang bercengkarama
dengan sambal ijo berbau khas. Ada lagi yang khas dari mie ayam Acil, gambar ayam
jago pada bagian luar mangkok dan sumpit plastic berwarna merah menyala.
Sungguh, sangat menggugah selera.
Kenapa
dikatakan mie ayam Acil? Tidak lain karena perawakannya yang kurus dan kecil.
Acil = Anak kecil. Ialah tukang mie ayam pertama yang berjualan dari komplek
Bona Indah Lebak Bulus hingga komplek polisi Pasar Jumat. Ia berjualan dari jaman
jalan Karang Tengah masih berupa jalan setapak hingga menjadi jalan arteri. Ia
juga yang mengajarkanku menikmati mie ayam dengan sumpit. Sungguh suatu
pembelajaran yang berharga.
Semua
begitu mengalir. Sampai pada masa masyarakat tergila-gila dengan acara Trans TV
‘INVESTIGASI’. Tapi aku lebih sreg menyebutnya acara agitasi dan provokasi.
Badai pun menerpa tukang mie ayam dan bakso. Seminggu Acil tak muncul, dua
minggu, tiga minggu hingga dua bulan. Kangen lidah ini menari-nari memainkan
mie dan sawi. Akhirnya pada suatu hari terdengar bunyi yang khas. Tapi kok
nadanya beda?. Kocoba melongok ke luar pintu, Yah, bukan bang Acil. Gak apa-apa
deh, beli aja. Ternyata jauh panggang dari api. Selalu ada saja yang kurang
setiap aku mencoba mie ayam. Bayangkan dari tahun 2000 hingga tahun 2010 aku
kehilangan mie ayam yang khas.
Tahun
2005, setelah berkeluarga aku pindah ke Gunung Sindur Kabupaten Bogor. Kadang aku
masih mengingat bagaimana rasa mie ayam Acil. Lama-lama rasa itu sirna dari
kenangan papilla lidah dan ingatanku. Hari Senin tahun 2010, aku izin pulang
cepat karena badan agak meriang. Ba’da zhuhur, terdengar suara yang khas itu
lagi. Kucoba menegaskan, nada, tempo dan tonenya sama persis. Segera aku
keluar, kok bukan bang Acil?. Biarlah, lagi pula aku sudah lapar. Sambil
membuat mie, abangnya kutanya, “Bang, sebelum ke sini, udah jualan di mana aja
bang?”. Abang mie ayam itu menjawab ia mulai berjualan di Lebak Bulus. “lebak
Bulusnya mana Bang?”. Dijawabnya di Bona Indah. Aku tanya apakah kenal Bang
Acil. Tidak disangka ia menjawab bang Acil adalah adiknya. Ialah yang menyuruh
adiknya berjualan di komplekku.
“Terus
kemana bang Acil kemana Bang?”. Jawabnya adiknya pulang kampong karena istrinya
meninggal. Ia berjualan mie ayam di kampungnya. “Nih pak udah selesai”,
katanya. Segera setelah masuk rumah kucicipi mia ayam itu. Seperti adegan di
film animasi ‘Ratatouille’ semua kenangan muncul kembali. Ya Allah, terima
kasih. Telah kutemukan rasa khas yang hilang. Hingga kini setiap Sabtu dan Minggu
tak pernah kulewati mie ayam kesenanganku.
JKT, 12/04/20
Mantap
BalasHapusterima kasih atas kunjungannya
HapusSenengnya bisa menikmati mie ayam acil lagi 😁
BalasHapusIkutan terbawa dengan kenangan mie ayamnya acilnya.
BalasHapushttps://yuyundwimulyani.blogspot.com/2020/04/gara-gara-semangkuk-mie-ayam.html